Jumat, 30 Maret 2012

0 Islamic Literature

Islamic Literature
Khalilah Wa dimnah

Kebudayaan Persia merupakan salah satu kebudayaan tertua di dunia, begitu pula kesusasteraan nasionalnya. Pada awalnya bahasa yang dipergunakan ialah Bahasa Avesta, yaitu satu daripada dialek bahasa Iran Purba yang digunakan untuk penulisan kitab suci agama mereka. Pada zaman berikutnya bahasa Pahlewi atau Parsi yang dipergunakan dalam penulisan.
Bahasa Parsi termasuk di dalam rumpun bahasa Indo Arya atau Indo Eropa. Rumpun bahasa ini berasal dari Dataran Tinggi Iran. Termasuk ke dalam rumpun bahasa ini ialah bahasa Sanskrit dan cabang-cabangnya di India seperti bahasa Hindi, Shindi, Urdu, Bengali dan lain-lain. Bahasa-bahasa Eropah seperti Latin, Italia, Jerman, Belanda dan lain-lain juga termasuk di dalam rumpun bahasa ini. Tersebar luasnya rumpun bahasa ini di Asia dan Eropah disebabkan perpindahan besar-besaran bangsa Arya dari Kaukasus dan Dataran Tinggi Iran secara berkelanjutan dan berkesinambungan sejak tahun 3000 SM sehingga abad ke-13 M.
Nama Parsi atau Persia diambil dari nama sebuah kabilah atau puak yang berhasil membangun dua kemaharajaan Iran Purba, yakni Hakshiminia dan Parthi. Kedua puak ini berasal dari propinsi Pars, sebuah wilayah timur laut Iran. Pada tahun 770-550 M kedua puak ini berjaya menaklukkan Babylonia, Assyria, Asia Kecil dan Mediterania atau Eropah Selatan. Karena raja-raja daripada Dinasti Hakshiminia (Achemenia) dan Parthi ini berasal daripada Pars, maka orang-orang Yunani, Rumawi, Yahudi dan Arab menyebut orang-orang daripada kawasan Dataran Tinggi Iran sebagai bangsa Persia. Bahasa Parsi sesungguhnya hanya satu saja dari banyak bahasa atau dialek yang digunakan penduduk Dataran Tinggi Iran. Tetapi karena orang-orang Pars memiliki kuasa ekonomi, politik dan budaya yang besar, dan dalam kalangan mereka terdapat banyak cendekiawan dan pemuka agama yang menonjol, maka bahasa Parsi menjadi bahasa yang menonjol di lingkungan kemaharajaan Persia.
Plato dan beberapa penulis Yunani lain menyebut orang-orang Dataran Tinggi Iran sebagai bangsa Aryan. Dari sebutan Aryan inilah nama Iran berasal. Pada tahun 300 SM negeri Parsi ditakluk oleh raja Macedonia Iskandar Agung. Kebudayaan Yunani atau Hellen mengubur kebudayaan Parsi dan bahsanya untuk beberapa waktu lamanya. Tetapi pada tahun 250 SM bangsa Parsi berhasil membebaskan diri dari cengkraman kekuasaan bangsa Macedonia. Pemimpin mereka, Arshak, membina kemaharajaan baru Hakshiminia atau Achemenia. Kemaharajaannya diberi nama kemaharajaan Persia. Bahasa Parsi disebut bahasa Pahlewi, sempana nama maharaja Persia yang pertama. Sejak pada masa itulah bahasa, kesusastraan dan kebudayaan Parsi tumbuh dan berkembang semula. Namun perkembangan kebudayaan dan kesusastraan Persia mencapai kemuncaknya pada zaman Bani Sassan (220-672 M).
Agama Zoroaster atau Majusi merupakan agama resmi kemaharajaan Parsi. Pengaruh agama ini sangat besar terhadap perkembangan kesusasteraannya. Pada abad ke-3 M sebuah agama baru yang dianjurkan oleh Mani muncul. Agama ini disebut agama Mani dan merupakan percampuran agama Zoroaster, Buddhisme dan Kristian. Walaupun agama Mani tidak mendapat penerimaan luas dalam kalangan penduduk Iran, namun pemimpin mereka memainkan peranan penting dalam kehidupan intelektual dan sastera. Agama ini tersebar di Asia Tengah dan China. Pemimpinnya sering berdakwah melalui kegiatan seni halus dan kesusasteraan, dan mereka juga sering terlibat dalam perdebatan agama dan falsafah.
Karya-karya yang dihasilkan pada zaman Bani Sassan ini banyak disalin dan ditulis ulang pada zaman Islam. Karena diberi corak Islam maka karya-karya tersebut menjelma menjadi kesusasteraan baru.
Karya yang dipandang sebagai hasil kemuncak kesusasteraan Parsi Lama ialah Avesta, kitab suci agama Zoroaster. Bahasa Avesta mirip bahasa Sanskrit di India. Kitab Avesta terdiri daripada gatha (nyanyian kerohanian atau ketuhanan). doa-doa, uraian etika dan falsafah hidup, serta masalah yang berkaitan dengan geografi bangsa Iran Purba. Bahasa Parsi yang digunakan dalam kitab Avesta sangat indah dan puitik.












Bab II
Konsep Teori
A. Strukturalism
Strukturalisme adalah suatu metode analisis yang dikembangkan oleh banyak semiotisian berbasis model lingusitik Saussure. Strukturalis bertujuan untuk mendeskripsikan keseluruhan pengorganisasian sistem tanda sebagai bahasa seperti yang dilakukan Lévi-Strauss dan mitos, keteraturan hubungan dan totemisme, Lacan dan alam bawah sadar; serta Barthes dan Greimas dengan grammar pada narasi. Mereka melakukan suatu pencarian untuk suatu struktur yang tersembunyi yang terletak di bawah permukaan yang tampak dari suatu fenomena.
Social Semiotics kontemporer telah bergeser di bawah concern para strukturalis yang menemukan relasi internal dari bagian-bagian di antara apa yang terkandung dalam suatu sistem. Melakukan eksplorasi penggunaan tanda-tanda dalam situasi tertentu. Teori semiotik modern suatu ketika disatukan dengan pendekatan Marxist yang diwarnai oleh aturan ideologi.
Strukturalisme adalah teori yang menyatakan bahwa seluruh organisasi manusia ditentukan secara luas oleh struktur sosial atau psikologi yang mempunyai logika independen yang menarik, berkaitan dengan maksud, keinginan, maupun tujuan manusia. Bagi Freud, strukturnya adalah psyche; bagi Marx, strukturnya adalah ekonomi; dan bagi Saussure, strukturnya adalah bahasa. Kesemuanya mendahului subyek manusia individual atau human agent dan menentukan apa yang akan dilakukan manusia pada semua keadaan.
Strukturalisme terutama berkembang sejak Claude Levy-Strauss Hubungan antara bahasa dan mitos menempati posisi sentral dalam pandangan Lévi-Strauss tentang pikiran primitif yang menampakkan dirinya dalam struktur-struktur mitosnya, sebanyak struktur bahasanya. Mitos biasanya dianggap sebagai ‘impian’ kolektif, basis ritual, atau semacam ‘permainan’ estetika semata, dan figur-figur mitologisnya sendiri dipikirkan hanya sebagai wujud abstraksi, atau para pahlawan yang disakralkan, atau dewa yang turun ke bumi sehingga mereduksi mitologi sampai pada taraf semata sebagai ‘mainan anak-anak’, serta menolak adanya relasi apapun dengan dunia dan pranata-pranata masyarakat yang menciptakannya.
Perhatian Lévi-Strauss terutama terletak pada berkembangnya struktur mitos dalam pikiran manusia, baik secara normatif maupun reflektif, yaitu dengan mencoba memahami bagaimana manusia mengatasi perbedaan antara alam dan budaya. Tingkah laku struktur mitos yang tak disadari ini membawa Lévi-Strauss pada analisis fonemik, di mana berbagai fenomena yang muncul direduksi ke dalam beberapa elementer-struktural dasar, namun dengan satu permasalahan yang mendasar:
Di satu sisi tampaknya dalam mitos apa saja mungkin terjadi. Tak ada logika di sana, tak ada kontinuitas. Karakteristik apapun bisa disematkan pada subjek apa saja ; setiap relasi yang mungkin bisa saja ditemukan. Namun di sisi lain, kearbitreran penampakan ini dipungkiri oleh keserupaan yang mengejutkan di antara mitos-mitos yang dikumpulkan dari berbagai wilayah yang amat luas. Jika muatan dari mitos bersifat kontingen, bagaimana kita menjelaskan suatu fakta bahwa mitos-mitos di seluruh dunia tampak serupa?
Mitos, menurut Levi-Strauss, memiliki hubungan nyata dengan bahasa itu sendiri karena merupakan satu bentuk pengucapan manusia sehingga analisisnya bisa diperluas ke bidang linguistik struktural. Namun tentu saja, analogi seperti ini tidaklah eksak dan mitos tidak bisa dengan begitu saja disamakan dengan bahasa sehingga sekaligus pula harus ditunjukkan pula perbedaannya melalui konsep Saussure mengenai langue dan parole, struktur dan kejadian individual.
Versi-versi individual yang berbeda-beda dalam tiap mitos, yaitu aspek parole-nya, diturunkan dari dan memberikan kontribusi pada struktur dasar langue-nya. Sebuah mitos, secara individual, selalu dikisahkan dalam suatu waktu: ia menunjuk pada kejadian-kejadian yang dipercaya begitu saja pernah terjadi di waktu lampau, namun pola spesifik atau strukturnya dikatakan sebagai sesuatu yang kekal dan ahistoris: ia merangkum mode penjelasan tentang kekinian dengan apa yang terjadi di masa lalu dan sekaligus masa depan.
Maka, setiap kali mitos dikisahkan kembali, ia menggabungkan elemen-elemen langue dan parole-nya, dan dengan begitu mentrandensikan keduanya sebagai penjelasan trans-historis dan transkultural atas dunia. Tidak seperti puisi, mitos tak terpengaruh oleh penerjemahan maknanya: penggunaan bahasa atau aspek linguistik yang paling rendah sekalipun cukup untuk mengungkapkan nilai mitikal dari mitos. Mitos merupakan bahasa, yang bekerja pada suatu tingkat di mana makna terlepas dari tataran linguistiknya.
Berdasarkan anggapan ini, Lévi-Strauss memformulasikan dua proposisi dasar dalam hubungannya dengan mitos: Makna dari mitologi tidak dapat muncul dalam elemen-elemennya yang terisolir, tetapi haruslah melekat dalam suatu cara elemen-elemen itu dikombinasikan, dan punya peran potensial bagi sebuah transformasi yang melibatkan kombinasi seperti ini. Bahasa di dalam mitos memperlihatkan ciri khasnya yang spesifik: ia menguasai tataran linguistik biasa.

B. Psychoanalysis
Psikoanalisis sendiri pada awalnya adalah sebuah metode psikoterapi untuk menyembuhkan penyakit-penyakit mental dan syaraf, dengan menggunakan teknik tafsir mimpi dan asosiasi bebas. Teori ini kemudian meluas menjadi sebuah teori tentang kepribadian. Konsep-konsep yang terdapat dalam teori kepribadian versi psikoanalisis ini termasuk yang paling banyak dipakai di berbagai bidang, hingga saat ini.
Psikoanalisis dalam sastra memiliki empat kemungkinan pengertian. Yang pertama adalah studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi. Yang kedua adalah studi proses kreatif. Yang ketiga adalah studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra. Yang keempat adalah mempelajari dampak sastra pada pembaca. Namun, yang digunakan dalam psikoanalisis adalah yang ketiga karena sangat berkaitan dalam bidang sastra. Asal-usul dan penciptaan karya sastra dijadikan pegangan penilaian karya sastra itu sendiri. Jadi psikoanalisis adalah studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra.
Konsep Freud yang paling mendasar adalah teorinya tentang ketidaksadaran. Pada awalnya, Freud membagi taraf kesadaran manusia menjadi tiga lapis, yakni lapisan unconscious (taksadar), lapisan preconscious (prasadar), dan lapisan conscious (sadar). Di antara tiga lapisan itu, taksadar adalah bagian terbesar yang memengaruhi perilaku manusia. Freud menganalogikannya dengan fenomena gunung es di lautan, di mana bagian paling atas yang tampak di permukaan laut mewakili lapisan sadar. Prasadar adalah bagian yang turun-naik di bawah dan di atas permukaan. Sedangkan bagian terbesar justru yang berada di bawah laut, mewakili taksadar.
Dalam buku-bukunya yang lebih mutakhir, Freud meninggalkan pembagian lapisan kesadaran di atas, dan menggantinya dengan konsep yang lebih teknis. Tetapi basis konsepnya tetap mengenai ketidaksadaran, yaitu bahwa tingkah laku manusia lebih banyak digerakkan oleh aspek-aspek tak sadar dalam dirinya. Pembagian itu dikenal dengan sebutan struktur kepribadian manusia, dan tetap terdiri atas tiga unsur, yaitu id, ego, dan superego.
Id adalah bagian yang sepenuhnya berada dalam ketidaksadaran manusia. Id berisi cadangan energi, insting, dan libido, dan menjadi penggerak utama tingkah laku manusia. Id menampilkan dorongan-dorongan primitif dan hewani pada manusia, dan bekerja berdasarkan prinsip kesenangan. Ketika kecil, pada manusia yang ada baru id-nya. Oleh karena itu kita melihat bahwa anak kecil selalu ngotot jika menginginkan sesuatu, tidak punya rasa malu, dan selalu mementingkan dirinya sendiri.
Ego berkembang dari id, ketika manusia mulai meninggalkan kekanak-kanakannya, sebagai bentuk respon terhadap realitas. Ego bersifat sadar dan rasional. Keinginan-keinginan id tidak selalu dapat dipenuhi, dan ketika itulah ego memainkan peranan. Ego bekerja berdasarkan prinsip realitas. Misalnya, ketika id dalam diri kita ingin makan enak di restoran mahal, tetapi keuangan kita tidak mampu, maka ego tidak bisa memenuhi keinginan itu.
Superego muncul akibat persentuhan dengan manusia lain (aspek sosial). Dalam keluarga, superego ditanamkan oleh orang tua dalam bentuk ajaran moral mengenai baik dan buruk, pantas dan tidak pantas, dsb. Superego muncul sebagai kontrol terhadap id, terutama jika keinginan id itu tidak sesuai dengan moralitas masyarakat. Superego selalu menginginkan kesempurnaan karena ia bekerja dengan prinsip idealitas.

BAB III
Pembahasan
Kalilah Wa Dimnah adalah salah satu karya agung yang diterjemahkan dan kemudian disadur sebagai karya sastra Arab pada masa Dinasti Abbasiyah yang mencapai puncak gerakan transformasi budaya dan gerakan terjemahan tepatnya di masa Harun Ar-Rasyid (Raja Kelima Dinasti Abbasiyah). Kalilah wa Dimnah ditulis oleh Baydaba, seorang filsuf agung India pada zaman kekuasaan seljuk ( 512-544 H ). Karya ini kemudian disadur Al- Barzawy ke dalam bahasa Persia, dan diterjemahkan dalam bahasa Arab oleh Ibn Muqoffa. Karya yang menggemakan nilai etis moral (futuwwah) dan regionalitas bagi masyarakat dengan menggunakan model fabel yaitu meminjam dunia binatang untuk menjadi aktor, setting dan sarana peristiwa yang merefleksikan dan mencerminkan dunia manusia.
Kalilah wa Dimnah dalam sejarahnya diterjemahkan di saat negeri Ibn Muqoffa dalam situasi carut marut, pergolakan politik terus berlanjut, rasa keadilan terus terpasung, kekuasaan raja yang tiran, perseteruan antar kelompok, pudarnya rasa aman dan damai, dan hubungan antara rakyat dan penguasa dengan rakyat sangatlah tidak harmonis. Oleh karena itu, kehadiran Kalilah Wa Dimnah mendatangkan angin segar untuk stagnasi kehidupan yang demikian kusut. Lebih dari itu Ibn Muqoffa mencoba memberi pelajaran kepada penguasa dan rakyat, Keagungan dan kekayaan pembelajaran moral berpolitik dalam karya ini yang membuat penulis tertarik untuk meneliti lebih jauh mengenai strategi-strategi apa saja yang disampaikan penulis dalam karyanya untuk menyelesaikan konflik politik. Maka akan menjadi relevan, apabila mengkaji Kalilah Wa Dimnah dengan pendekatan ilmu politik, yang lebih dikhususkan pendekatan struktural konflik.
Pendekatan konflik berasumsi bahwa masyarakat mencakup berbagai bagian yang memiliki kepentingan yang saling bertentangan. Dari pendekatan ini juga dihasilkan bahwa konflik tak selamanya berakibat memperburuk keadaan namun konflik juga mempunyai efek positif, yakni sebagai pengintegrasi masyarakat dan sebagai sumber perubahan. Lebih jauh, walaupun Kalilah Wa Dimnah termasuk karya sastra "lama", dengan bahasa dan gaya bercerita dalam bentuk prosa masih sederhana namun penulis yakin karya ini masih relevan untuk dikaji guna pembelajaran khasanah politik kita yang memang masih terbatas.
Penulis juga melibatkan kondisi sosial-politik di mana karya ini diterjemahkan untuk menghubungkan karya dengan realitas, karena dengan itu karya menjadi lebih hidup, dan semakin mempertegas bahwa karya sastra adalah cermin masyarakat. Untuk mendapatkan analisis tersebut penulis menggunakan teori resepsi, teori yang mengedepankan tanggapan atau penerimaan karya sastra dengan masyarakat tempat karya dilahirkan. Nantinya penulis akan menilik lebih jauh bagaimana karya sastra ini mampu menjadi pembelajaran bagi masyarakat bagaimana menjadi rakyat yang baik dan bagi penguasa, bias mengelola konflik yang berimplikasi positif.
Dari empat belas kisah fable yang ada dalam Kalilah wa Dimnah, penulis hanya mengambil satu kisah, yang menurut penulis sarat dengan konflik politik yaitu kisah merak dengan gagak. Konflik politik dalam Kalilah wa Dimnah mempunyai bentuk yang negatif, karena mengakibatkan carut marut tata pemerintahan kerajaan.
A. Sejarah Teks kalilah wa Dimnah.

Kalilah dan Dimnah merupakan kitab karya filosof India yakni Baidaba. Karya tersebut diterjemahkan Ibnu al-Muqoffa’ tanpa mengubah inti arti karya aslinya. Ia menyisipkan cerita-cerita berbingkai di dalam karya tersebut. Menurut Bahnud Ibn Sahwan atau dikenal dengan Ali bin Syah al-Farisi, tujuan Baidaba membuat karya Kalilah dan Dimnah adalah atas permintaan raja Dabsyalim dan untuk dipersembahkan kepada raja Dabsyalim, raja India pada abad ke-3 SM. Setelah karya ini selesai dibuat selama beberapa kurun waktu. Baginda raja Dabsyalim bermaksud memberi penghargaan terhadapnya namun ia menolak untuk menerima imbalan tersebut. Namun permintaannya kepada sang raja adalah agar sang raja bisa menjaga dan menyimpan dengan baik kitab karyanya tersebut agar tidak ada yang mengambilnya.
Pada pertengahan abad VI atau tepatnya 672 M, Persia dipimpin raja yang bernama Anusirwan Ibnu Qudaba. Ia mendengar bahwa di India ada karya Kalilah dan Dimnah yang terkenal atau masyhur. Karena Ia adalah orang termasuk suka terhadap ilmu pengetahuan maka timbul dalam hatinya berambisi untuk memilikinya. Akhirnya Ia memerintahkan Barzawy untuk pergi ke India, mengambil dan membawa kitab itu ke hadapannya. Rencananya itu berhasil. Barzawy dapat membawa manuskrip itu kepada raja dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Persia atau bahasa Pahlewi.
Kemudian teks ini hilang, namun untungnya teks ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Syiria, sehingga melalui inilah karya Ibnu al-Muqoffa’ diterjemahkan dalam bahasa Arab sehingga sampai sekarang bisa kita baca. Kitab ini ditulis berdasarkan teks sansekerta berjudul pancatranta. Teks aslinya, pertama kali diterjemahkan ke dalam Bahasa Tibet. Teks asli dalam bahasa Sanskrit hilang dan tidak pernah diketemukan. Dan kemudian teks dalam bahasa Tibet pun juga hilang. Yang dijumpai adalah teks yang terdiri dari lima bagian yang disebut pancatranta, padahal sebelumnya terdiri dari tujuh bagian. Teks yang tidak lengkap inilah yang kemudian banyak diterjemahkan ke dalam bahasa India.
Dikatakan dalam sejarahnya bahwa Kalilah dan Dimnah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, ada yang menerjemahkan dalam bahasa Tibet, bahasa Parsi, bahasa Suryani, dan bahasa Arab. Terjemahan-terjemahannya sebagai berikut:


1. Terjemahan ke Bahasa Tibet.
Hikayat Kalilah dan Dimnah, pada awal sekali diterjemahkan ke dalam bahasa Tibet. Tapi sekarang tak ada lagi buku yang cukup berisi semua cerita itu. Hanya sebagian saja daripada cerita-cerita masih tersua sekarang dalam bahasa itu. Lalu, Banyak orang yang mengira bahwa kareya tersebut sudah diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Disebabkan jangka waktu yang lama sehingga karya (kitab) dalam bahasa tersebut hilang tidak diketemukan.

2. Terjemahan ke Bahasa Parsi Tua.
Ketika abad ke-6 Masehi, ada seorang raja yang memimpin Persi, yang bernama Anusyirwan. Ia adalah seorang yang senang akan ilmu pengetahuan sehingga ia menjadi masyhur karena hal tersebut. Saat Ia mendengar bahwa ada sebuah karya (kitab) yang menarik dan terkenal di negeri India yang kitab itu dijaga baik oleh rajanya, akhirnya Ia mengutus Barzuwih seorang dokter istana sekaligus orang kepercayaannya. Baginda raja untuk mengambil kitab tersebut dan menerjemahkannya ke Bahasa Parsi. Akhirnya rencana itu berhasil. Begitulah kronologis hikayat tersebut ke dalam bahasa Parsi.

3. Terjemahan ke Bahasa Suryani.
Pada awalnya banyak orang yang menyangka bahwa karya tersebut sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Namun kenyataaannya tidak demikian. Salinan itu ternyata diterjemahkan ke dalam bahasa Suryani, kira pada tahun 570 M, oleh seorang pendeta Kristen.Penyalinan itu terbukti, dengan dinamai Qalilaj dan Damnaj. Boleh jadi demikianlah hikayat itu dinamai oleh penerjemah ke bahasa Parsi, dan penyalin ke bahasa Arab yang kemudian mengubahnya jadi Kalilah dan Dimnah. Orang pandai-pandai Barat telah memperoleh naskah salinan bahasa Suryani itu, dan telah diterjemahkan ke bahasa terjemahkan ke bahasa Jerman di Leipzig pada tahun 1876 yang isinya hanya berisi sepuluh bab saja.

4. Terjemahan ke Bahasa Arab.
Karya itu juga diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Terjemahan dalam bahasa Arab inilah yang terpenting, karena dapat diterjemahkan ke bahasa Tamil. Sehingga karangan itu dapat diterjemahkan yang terdiri lima cerita ke dalam bahasa Jawa dan Madura. Dikatakan bahwa dalam bahasa Melayu, ada empat versi yang masyhur. Pertama ialah versi abad ke-17 yang oleh Wrendly disebutkan dalam bukunya Tata Bahasa Melayu yang judulnya, “Hikayat Kalilah dan Dimnah” dan salinannya dalam bahasa latin ditulis oleh J.G. Gonggrijip pada tahun 1873. Versi kedua yaitu abad ke-19, kira-kira pada tahun 1835 yang disalin oleh Abdullah bin Abdulkadir Munsyi dari bahasa Tamil yang berjudul Hikayat Pancatanderan. Versi ketiga, yang diterbitkan Balai Pustaka tahun 1942 oleh Ismail Djamil yaitu karya yang langsung diterjemahkan oleh Ibnu al-Muqoffa’.Para Sejarawan mengadakan penelitian terhadap versi abad ke-17 M. setelah penelitian itu disimpulkan bahwa karya yang paling dekat dengan versi Persia adalah yang dikarang oleh Nasrullah tahun 1142, yang diberi judul Dalang atau Sagala Cerita dan Dongeng.

0 komentar:

Posting Komentar

 

World of Mine Copyright © 2011 - |- Template created by O Pregador - |- Powered by Blogger Templates