Kamis, 13 September 2012


ANALISIS KARYA AJIP ROSIDI
DALAM KARYA RORO MENDUT DAN PRANACITRA


A.S. Hornby mengartikan ilmu sebagai “Science is organized knowledge obtained by observation and testing of fact ( ilmu adalah susunan atau kumpulan pengetahuan yang diperoleh melalui penelitian dan percobaan dari fakta – fakta )”. Ilmu diartikan sebagai suatu pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerapkan gejala-gejala tertentu dibidang (pengetahuan) tersebut, seperti ilmu hukum, ilmu pendidikan, ilmu ekonomi dan sebagainya.[1]
            Van Peursen, dalam melihat prosesi budaya, menganggap bahwa zaman modern adalah fase budaya fungsional yang lebih menekankan aspek pragmatis bagi setiap kehidupan manusia.[2] Berbagai cara manusia tempuh untuk menangkap suatu realitas kehidupan yang kompleks, salah satunya ialah dengan bercerita, menulis, dan mencurahkan. Dengan tiga cara tersebut dapat menghasilkan sebuah karya. Dan salah satu di antara cara itu adalah Prosa. Setiap cara tidak pernah menyingkapkan secara utuh realitas kehidupan, tetapi hanya parsial saja.
            Prosa memiliki keunikan dan keunggulannya sendiri dalam menyingkapi realitas kehidupan, sekurang-kurangnya ialah perspektif dari seorang pengarangnya. Secara subjektif cerpen merupakan produk imajinasi seorang pengarang yang menuangkan idenya kedalam sebuah cerita. Kadang imajinasi tersebut membawa pembaca kepada alam yang diciptakan oleh seorang pengarangnya.
Justifikasi menghendaki objek, karena terhadap obyek itulah relevansi kepentingan kita dikuatkan. Di sini justifikasi itu dipertemukan dengan realitas dan pandangan hidup pembaca. Pertemuan itulah yang menghadikan suasana: marah, risau, mual, sedih riang, lega, dan seterusnya. Justifikasi juga hadir karena kepentingan politis kita, yaitu untuk memproduksi suasana. Dengan kata lain, sugesti cerita timbul dari timbunan antropologi pembaca, yaitu mencakup semesta pikiran, kondisi, batin dan proyek politiknya. Pertemuan ini lah yang menghidupkan kritik dan apresiasi sastra. [3]
            Untuk menghidupkan kembali kritik sastra dan apresiasinya ialah dengan dilakukannya penelitian terhadap karya sastra tersebut. Kajian sastra merupakan suatu tolak ukur terhadap para kritikus sastra. Disini penulis mencoba menganalisis dan meneliti karya sastra yang berjudul Roro Mendut dan PranaCitra. Hal ini sangat menarik untuk diteliti dan dibandingkan secara rinci terhadap apa itu isi dalam dua karya tersebut, dan melihat dari sisi sebelah mana penulis membandingkan karya sastra tersebut.
            Mengapa karya tersebut menjadi pilihan penulis terhadap penelitian. Karena, pada bagian ini terdapat sisi social tentang. Kehidupan social menjadi menarik untuk diteliti ketika kehidupan tersebut keluar pada tatanan jalur yang telah disediakan oleh sang penguasa alam. Menurut sapardi Djoko Damono (1978) mengemukakan beberapa pendapat mengenai aneka ragam pendekatan karya sastra. Ia menemukan setidaknya tiga jenis pendekatan yang berbeda dalam sosiologi sastra, yaitu sosiologi pengarang yang mempermasalahkan status social, ideology social, dan lain-lain yang menyangkut pengarang sebagai penghasil karya sastra; sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri; dan sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan pengaruh social karya sastra.[4]
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penelitian ataupun analisis karya dalam makalah ini berkaitan dengan kehidupan social pada masa itu. dan perbandingan terhadap dua karya itu kepada aspek-aspek kebudayaan yang melahirkan karya tersebut.
 Maka identifikasi masalah dibuat berdasarkan pertanyaan berikut.
1.      Apa pengaruh Sosial Budaya terhadap Karya tersebut?
2.      Melalui pembaca, Apa dampak psikologis setelah mereka membaca karya tersebut?

Maksud dan tujuan terhadap Makalah ini ialah jawaban dari identifikasi sebuah masalah yang telah dipaparkan, yaitu
1.      Mengetahui Pengaruh Sosial Budaya terhadap dua karya tersebut.
Penelitian yang dilakukan berdasarkan dari sisi sebuah kebudayaan dan aspek-aspek social yang ditonjolkan. karya tersebut dapat mengusung adanya suatu jawaban terhadap sisi-sisi kehidupan masyarakat social dalam isi karya tentang apa yang telah ditulis oleh pengarangnya.
Memahami pemikiran seseorang, tidak bisa dilepaskan dari perspektif historis kelahiran pemikiran beserta ruang lingkup yang mempengaruhinya. Ada berbagai faktor yang turut terlibat dalam memunculkan karakteristik pemikiran seseorang. Manusia itu makhluk historis, seseorang berkembang dalam pengalaman dan pikiran, bersama dalam lingkungan dan zamannya.
Pemikiran merupakan suatu pergulatan kreatif terhadap kegelisahan dan ego yang dihubungkan ketika berhadapan dengan realitas social. Hal ini dilakukan untuk sebauh refleksi kekhawatiran dan keprihatinan terhadap sesuatu yang dianggap “sangat” dalam dan bagi kehidupan manusia.
Williams (Johnson 1987) beranggapan bahwa konsep hegemoni melampaui konsep ideology dengan tekanannya pada kesepakata dengan tatanan social yang berkuasa yang diamankan lewat cara yang didalamnya proses social lebih dihayati daripada dipaksakan dengan pemaksaan gagasan atau kesadaran oleh suatu kelas terhadap kelas yang lain.[5]
Objek utama penelitian ini adalah sebuah cerita yang bertemakan cinta terlarang. Aspek utama yang diteliti adalah sisi kehidupan social dan sisi psikologis karakter atau watak mereka di dalam cerita. Berbicara tentang karya ini mungkin banyak orang telah mengetahui ceritanya, cerita ini diambil dari cerita berjudul yaitu Roro Mendut dan PranaCitra berasal dari Jawa yang diangkat oleh Ajip Rosidi kedalam sebuah novel.
Dengan dua teori dan pendekatan tersebut akan terlintas dan terjawab  apa makna yang tersirat dalam kedua cerita tersebut dan dampak dari pengaruh social terhadap dua cerita ini. Telaah dini dimulai dengan mencoba memahami perkembangan budaya pada kedua cerita pada masing-masing negaranya.

***

Teori hegemoni Gramscian telah membuka dimensi baru dalam studi soiologis mengenai kesusastraan. Kesusastraan tidak lagi di pandang semata-mata sebagai gejala kedua yang tergantung dan ditentukan oleh masyarakat kelas sebagai infrastrukturnya, melainkan dipahami sebagai kekuatan sosial, politik dan cultural yang berdiri sendiri, yang mempunyai system tersendiri, meskipun tidak lepas dari infrastrukturnya. Penulis mengambil studi sastra melalui teori hegemoni dari Raymond Williams. Disini penulis tidak hanya mencakup tentang tataran teori hegemoni tetapi juga dalam tataran psikoanalisis. Kedua teori tersebut mempunyai hubungan yang menurut penulis sangat erat, karena pada taraf kehidupan sosial adakalanya psikologi seseorang juga pastinya berbeda. Gejolak ini merupakan krisis hubungan manusia, sekaligus guncangan sosial.
Motif masyarakat manusia pada akhirnya akan berupa motif ekonomi.’ Pernyataan ini dibuat oleh Freud, bukan Karl Marx, dalam introductory lectures and psychoanalysis. Hingga saat ini yang mendominasi sejarah manusia adalah kebuthuan untuk bekerja;dan bagi Freud kebutuhan yang keras ini berarti kita harus merepresi sebagian kecendrungan kita untuk bersenang-senang dan memuaskan diri.[6] Maksudnya disini ialah manusia pada hakikatnya ingin memiliki kepuasan yang fundamental dan seolah ingin mendapatkan hal yang lebih dari cukup maka disini Freud mengatakan demikian. Begitu juga pada sebuah cerita tentang Roro Mendut dan PranaCitra memiliki suatu tatanan sosial yang menarik untuk dibahas menggunakan dua teori tersebut melalui pendekatan sosial dan psikologinya.
Williams mengatakan dalam bukunya yang berjudul Culture and Society (1967) Williams menolak teori marxis ortodoks menurutnya masyarakat dan kebudayaan merupakan suatu totalitas yang tidak terpisahkan satu sama lain. Didalam totalitas itu tidak ada perbedaan tingkat atau derajat antara elemen-elemen pembentuknya baik yang berupa infrastruktur maupun superstrukturnya. Setiap usaha untuk mengambil salah satu elemen dalam totalitas itu pastilah akan membuahkan penemuan mengenai elemen yang lain yang tercermin di dalamnya[7].
Pendapat Williams tersebut itu bisa dibenarkan ketika konteks tesebut disematkan kepada kedua cerita bandingan tersebut, hanya saja perbedaan sebuah latar belakang ekonomi yang menjadi sebuah jembatan terhadap dua cerita tersebut ialah perbedaan antara struktur sosial yang terdapat pada masing-masing negaranya.
 ***
Setelah dijelaskan secara singkat tentang metode penelitian diatas, penulis ingin lebih merincikan bagian tersebut. Pada bagian awal penulis menjelaskan bahwa karya tersebut ialah Roro Mendut dan PranaCitra, dengan menggunakan teori hegenoni dari Raymond Williams dan Psikoanalisis Sigmund Freud terhadap keduanya. Inti pada bagian ini sebenarnya ialah untuk membandingkan kedua karya tersebut.
Masyarakat dan kebudayaan merupakan suatu totalitas, didalamnya tidak ditemukan hubungan determinasi antara elemen yang satu dari elemn yang lain. Yang ada hanyalah hubungan pembatasan (setting limits). Pada giliranya, untuk mengatasi persoalan determinisme tersebut Williams menggunakan konsep hegemoni Gramscian (Wolff 1982).[8]
Menurut gramsci, criteria metodologis yang menjadi dasar studinya didasarkan pada asumsi, bahwa supremasi suatu kelompok social menyatakan dirinya dalam dua cara, yaitu sebagai dominasi dan kepemimpinan moral. Satu hal yang menjadi acuan penulis ialah melihat dua sisi cerita yang sama dan apakah dari kedua cerita tersebut bukan berarti kehidupan social pada masa itu tidak berbeda. Kita bisa melihatnya dengan cara menganalisis dan membandingkan kedua karya tersebut pada tatanan social.
Bagi Gramsci, sejarah adalah suatu proses konflik-konflik dan kompromi-kompromi yang di dalamnya suatu kelas fundamental akan muncul sekaligus sebagai dominan dan direktif, tidak hanya dalam batasan ekonomik saja tetapi juga dalam batasan Moral dan intelektual. Bila mengintip sebentar mengenai isi cerita ini, kita dapat melihat bahwa cerita tersebut merupakan suatu tanggapan atau tindakan keras seorang yang mempunyai wewenang dalam keluarga melarang mereka untuk mencintai satu sama lain. Mengapa demikian? Pastinya ada salah satu penyebab mengapa mereka dipisahkan dan tidak boleh saling mencintai. Mungkin kita dapat melihatnya dari segi social dan psikologisnya. Menurut penulis bisa saja seorang pengarang cerita tersebut melihat pada kehidupan nyata dan bisa saja itu hanya merupakan imajinasi kreatif seorang pengarang.
Maka dalam makalah ini penulis akan mencoba memaparkan semua sentuhan social dan psikologisnya terhadap karya tersebut. Psikologis atau dalam karya sastra itu disebut Psikoanalisis yang bukan sekedar teori mengenai pikiran manusia, tetapi juga praktik untuk menyembuhkan mereka yang mentalnya dianggap sakit atau terganggu. Penyembuhan demikian, bagi Freud, tidak dicapai hanya dengan menjelaskan pada pasien kesalahan dalam dirinya dan mengungkapkan padanya motivasi tak sadarnya. Ini merupakan bagian dari praktik psikoanalisis, tetapi itu saja tidak akan menyembuhkan siapapun.[9]
Maka dari itu penulis mencoba melihat dari sisi pengaruh psikologisnya terhadap pembaca pada masa itu dan juga sekarang dengan menggunakan teori psikoanalisis melalui pendekatan psikologisnya Sigmund Freud.
 ***
“Kisah roro mendut diawali dengan pertemuan Roro Mendut yang berawal sama-sama menghadapi hidup penuh penderitaan di masa bocah, Roro Mendut dan Kumuda akhirnya dipertemukan. Kumuda yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga mafia hingga nyaris tidak pernah mengenal Tuhan, bertemu dengan Roro Mendut yang walaupun masih bocah dan hidup miskin serta terlunta-lunta tetapi sudah mendalami ilmu agama dengan baik.”
Diatas merupakan sebuah penggalan cerita tentang roro mendut yang awalnya bertemu dengan Kumuda. Krisis social pada penggalan cerita diatas telah dapat dilihat ketika seorang yang awalnya selalu bersama tetapi karena berbeda pendidikan ketika mereka dibesarkan akhirnya salah satu dari mereka memiliki perbedaan pemikiran dan juga pengetahuan. Untuk alas an yang menyangkut evolusi, kita terlahir dalam keadaan hampir sama sekali tak berdaya dan untuk bertahan hidup seluruhnya bergantung kepada perawatan anggota species kita yang lebih dewasa, biasanya orang tua kita. Ketergantungan yang diperpanjang dengan tak lazim pada orangtua kita ini, pertama-tama muncul kepermukaan ialah sebuah materi.[10] Seperti yang terlihat pada penggalan cerita diatas, itu tergantung dari struktur bimbingan terhadap pendidikan yang diberikan kepada seorang anak. Hal materi juga menjadi seuatu momok yang begitu sering dikeluhkan oleh para anggota keluarga khususnya pemimpin keluarga. Yang tadinya berpikir untuk memberikan materi yang baik kepada sang anak tetapi beban psikologis yang ditampung begitu berat dan akhirnya menjadi buta akan segala hal.
Factor lingkungan juga menjadi penyebab pada psikologis seorang anak contohnya diatas ialah Kumuda ia dilahirkan dan dibesarkan ditengah-tengah keluarga seorang mafia. Dan tidak menutup sebuah kemungkinan apabila dia besar menjadi seorang mafia karna factor psikologis yang telah dicampuri hal yang buruk.
Kisah percintaan romeo dan Juliet itu tidak mempunyai restu oleh orang tuanya dikarenakan keturunan yang berbeda, tetapi, apa daya mereka mencoba untuk berbicara apa kata hati mereka. Dan kisah ini pun tidak ada bedanya dengan kisah Roro Mendut dan PranaCitra. berlatar belakang masa keemasan Mataram di bawah Susuhunan Adiprabu Hanyakrakusuma Ing Alaga Sayidin Panatagama novel ini juga memberikan gambaran mengenai adat istiadat dan sistem hukum di kalangan para ningrat istana yang sangat sarat dengan konflik dan persekongkolan jahat. Hak rakyat di bawah sistem monarkhi absolut dimana raja adalah perwakilan Tuhan, adalah sebagai budak yang setiap saat harus menyerahkan segala miliknya, bahkan diri dan nyawanya apabila sang raja berkenan memintanya. Perbedaan terhadap keduanya menjadikan dan mengorbankan anaknya sebagai korban kekejaman orang tua mereka masing-masing.
Mungkin apabila bebicara tentang kisah ini hubungan yang terjadi memang didasari oleh factor politik social. Dan kejadian ini bukan hanya ada disebuah cerita belaka, para pembaca biasanya mendapatkan pengaruh yang positif dan kadang negative khususnya pada tataran orangtua anak apabila mereka ditaruh pada bagian pembaca. Pemikiran pembaca memang sulit untuk ditebak, karena mereka awalnya berpikiran baik tetapi dari sikap dan perilaku mereka kadang dipengaruhi oleh sebuah cerita. Banyak dari para pembaca telah mengetahui kedua kisah tersebut, berarti bukan kemungkinan yang kecil pengaruh cerita tersebut terhadap tatanan social tiap anggota keluarga itu menjadi berbeda.
Stasus social menjadi sebuah acauan yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Karena seperti pada zaman sekarang ini, status social sangat diperhitungkan. Mungkin seseorang ada yang berpikiran seperti itu dan tidak menutup kemungkinan ada juga yang berbeda. Taraf kehidupan di Indonesia khususnya itu sangat mementingkan status social ketimbang pengalaman pendidikan. Pada tataran psikologi juga sangat, dan pengaruh pada novel ataupun cerita seperti tema yang tak lain tentang percintaan yang terlarang biasanya. Membuat dampak yang sangat negative terhadap kehidupan social.
Tidak hanya cerita-cerita dalam novel maupun dongeng tetapi juga pada film-film berseri juga mempunyai dampak positif fan negative. Dan pada dasarnya dampak negative itulah yang lebih memenangkan jiwanya untuk bersikap.
Menurut Williams (1986), tahun 1848 menandai terbentuknya masyarakat borjuis di Inggris. Apabila kelas social mendeterminasi secara langsung ideology dan bentuk-bentuk kesusastraan, yang seharusnya terjadi adalah bawha sastra yang berkembang dan dominan adalah sastra borjuis[11]. Akan tetapi yang terjadi tidak sesederhana itu. sama halnya seperti cerita kisah Romeo and Juliet. Tatanan social masyarakat social di Inggris seperti demikian, yaitu penganut borjuisme yang mengusung kesetaraan gender terhadap kehidupan social suatu masyarakat pada umumnya.
***
Sebuah karya sastra dunia maupun nasional menjadi ketergantungan ataupun sebuah refleksi tentang kehidupan social didunia. Pada masanya kehidupan tataran social pada masyarakat pemerintah pusat di Kerta pada waktu itu. status kehidupan social menjadi kebanggaan tiap masyarakat. Setiap ruang lingkup kehidupan bermasyarakat dibedakan dengan suatu kelas social pada masa itu. dan pengaruh psikologi itu menjadi salah satu tataran yang pada akhirnya membuat manusia menjadi sesuatu yang gila atau melenceng. Oleh karna itu, kehidupan social politik dan Psikologi itu harus dibarengi dengan bimbingan dan keseimbangan dalam taraf kehidupan.
  
DAFTAR PUSTAKA
Faruk DR. 1994, Pengantar Sosiologi Sastra, Jogjakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Terry Eagleton, 2006, Teori Sastra, sebuah pengantar komprehensif. Kata Pengantar Widiawati Harfiyah, Jogjakarta: Percetakan Jalasutra.
Peursen Van A.C.Dr.Prof, 1988, Strategi Kebudayaan. Jogjakarta: Penerbit Kanisius.
Damono Djoko Sapardi, 2005, Pegangan Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta: Pusat Bahasa.


[1] Depdikbud 198, KBBI
[2] C. A. Van Peursen, Strategi Kebudayaan, Kanisius, Yogyakarta,1978.
[3] Smokol, cerpen kompas pilihan 2008, Hal xii. Cetakan pertama 2009.
[4] Pengantar sosiologi sastra, Hal 4. Dr. Faruk, 1994
[5] Teori Hegemoni, Pengantar sosiologi sastra. DR. Faruk 1994.
[6] Teori sastra-psikoanalisis, Terry Eagleton. Jogjakarta-Bandung, 2007.
[7] Teori Hegemoni dalam studi sastra. Pengantar sosiologi sastra, DR. Faruk Cetakan I 2004,Jogjakarta
[8] Teori Hegemoni, Raymond Williams. Pengantar Sosiologi Sastra, DR. Faruk. 2004
[9] Psikoanalisis, Teori Sastra. Terry Eagleton. 2007
[10] Psikoanalisis, Pengantar teori sastra. Terry Eagleton. 2004
[11] Teori Hegomoni, pengantar sosiologi sastra. DR. Faruk 1994

Selasa, 04 September 2012


A Reflection about Honesty
In short-story of “Kisah Dikantor Pos” Created by Muhammad Ali
By: Riyan Hidayat[1]

Kisah dikantor pos are one of the short-stories from Horizon Sastra Indonesia II. This short-stories contained and setting out about honesty concerning to thin man when he is in the post office to take him money order. It is interesting in the beginning that on offer by the writer come from Surabaya, with glossing the best mandate inside the context of the short-story.  Although in the first read this short-story may be we can’t interest if we just look from the title. Many people may be interpret about the general delineation that this short-story just a little story about someone who is in the post office. But, someone who read this short-story can understand if he has read this short-story. Further in this short-story becoming reflection concerning to official post office that was getting him rightful authority. Ordinary plot those given in this story like a stories of another short-story which suffering themes in the beginning and happy ending in the end of story.  But the content from that plot is not like it; however the plot structure is very easy to digestible. This case becoming interesting to negotiable in appreciate of literature really structure content analysis method in this short-story.
This short-story is a creation from the writer who was born in Surabaya. Muhammad Ali can be said to be writer not only can be relied on but also productive. Almost of years he publicated his creation, in 1952 he has publicated his creation with the title is 5 tragedy until creation with the title is Siksa dan Bayangan to 1954. That is just little partly of his creation, there are still many of his creation that we can’t enumerate. Muhammad Ali passes away in June 2nd 1998 in his birth city. He leaves his the best creation. Besides a fiction, he is also a scientific writer that is Teknik Penghayatan Puisi that publication in 1963.
2. Base of theory
Essence of literature labor is a merger between output of someone man of letters imagination with life in a factual manner. The result of creative action of human being it is more than higher percentage from the fact. Because of that, man of letters not imitates without ceremony or set an example from the fact. Therefore, for understanding literature labor, the reader has to know a variety of theory, that one of the other theories which will be investigated mention below.
Structuralism is appealing to some critics because it adds certain objectivity, a SCIENTIFIC objectivity, for the realm of literary studies (which have often been criticized as purely subjective/impressionistic). This scientific objectivity is achieved by subordinating "parole" to "langue;" actual usage is abandoned in favor of studying the structure of a system in the abstract. Thus structuralist readings ignore the specificity of actual texts and treat them as if they were like the patterns produced by iron filings moved by magnetic force--the result of some impersonal force or power, not the result of human effort.
In structuralism, the individuality of the text disappears in favor of looking at patterns, systems, and structures. Some structuralists (and a related school of critics, called the Russian Formalists) propose that ALL narratives can be charted as variations on certain basic universal narrative patterns.
In this way of looking at narratives, the author is canceled out, since the text is a function of a system, not of an individual. The Romantic humanist model holds that the author is the origin of the text, its creator, and hence is the starting point or progenitor of the text. Structuralism argues that any piece of writing, or any signifying system, has no origin, and that authors merely inhabit pre-existing structures (langue) that enable them to make any particular sentence (or story)--any parole. Hence the idea that is "language speaks us," rather than that we speak language. We don't originate language; we inhabit a structure that enables us to speak; what we (mis)perceive as our originality is simply our recombination of some of the elements in the pre-existing system. Hence every text, and every sentence we speak or write, is made up of the "already written."
By focusing on the system itself, in a synchronic analysis, structuralists cancel out history. Most insist, as Levi-Strauss does, that structures are universal, therefore timeless. Structuralists can't account for change or development; they are uninterested, for example, in how literary forms may have changed over time. They are not interested in a text's production or reception/consumption, but only in the structures that shape it.
In erasing the author, the individual text, the reader, and history, structuralism represented a major challenge to what we now call the "liberal humanist" tradition in literary criticism.
The HUMANIST model presupposed:
1.) That there is a real world out there that we can understand with our rational minds.
2.) That language is capable of (more or less) accurately depicting that real world..
3.) That language is a product of the individual writer's mind or free will, meaning that we determine what we say, and what we mean when we say it; that language thus expresses the essence of our individual beings (and that there is such a thing as an essential unique individual "self").
4.) the SELF--also known as the "subject," since that's how we represent the idea of a self in language, by saying I, which is the subject of a sentence--or the individual (or the mind or the free will) is the center of all meaning and truth; words mean what I say they mean, and truth is what I perceive as truth. I create my own sentences out of my own individual experiences and need for individual expression.
The STRUCTURALIST model argues
1.) That the structure of language itself produces "reality"--that we can think only through language, and therefore our perceptions of reality are all framed by and determined by the structure of language.
2.) That language speaks us; that the source of meaning is not an individual's experience or being, but the sets of oppositions and operations, the signs and grammars that govern language. Meaning doesn't come from individuals, but from the system that governs what any individual can do within it.
3.) Rather than seeing the individual as the center of meaning, structuralism places THE STRUCTURE at the center--it's the structure that originates or produces meaning, not the individual self. Language in particular is the center of self and meaning; I can only say "I" because I inhabit a system of language in which the position of subject is marked by the first personal pronoun, hence my identity is the product of the linguistic system I occupy.
This is also where deconstruction starts to come in. The leading figure in deconstruction, Jacques Derrida, looks at philosophy (Western metaphysics) to see that any system necessarily posits a CENTER, a point from which everything comes, and to which everything refers or returns. Sometimes it's God, sometimes it's the human self, the mind, and sometimes it's the unconscious, depending on what philosophical system (or set of beliefs) one is talking about.
Here's the basic method of deconstruction: find a binary opposition. Show how each term, rather than being polar opposite of its paired term, is actually part of it. Then the structure or opposition which kept them apart collapses, as we see with the terms nature and culture in Derrida's essay. Ultimately, you can't tell which is which, and the idea of binary opposites loses meaning, or is put into "play" (more on this in the next lecture). This method is called "Deconstruction" because it is a combination of construction/destruction--the idea is that you don't simply construct new system of binaries, with the previously subordinated term on top, nor do you destroy the old system--rather, you deconstruct the old system by showing how its basic units of Structuration (binary pairs and the rules for their combination) contradict their own logic.
It is three of preference of blooming of French structuralism: first, structuralism critic with central prominent figure is Merleau-Ponty and Barthes. Second: structuralize narrator logy that lean on concept of Vladimir Propp versus Greimas. Third, text description structuralize-linguistic is exclusive concept from Claude Levi-Strauss and Michael Riffaterre concept.
It is literature theory which at the sight the creation as the autonomy world, the world that can abdicate the self from who is the writer, and social cultural. Literature labor must be look at as an autonomous object and self-assertive the literature labor as a verbal structure autonomic with intern coherence. In this theory interlaced between language concepts (linguistic) with studying the literature labor. In the best metamorphose manner although in an elected manner.
It was used literature-structuralism in this note to have something as a purpose to understand type that contained in this short-story. And also understand trusteeship that contained in this short-story. Why this short-story suitable to be rap of structuralism, because this short-story has an easy plot that can understand by amateur letters critic. Talking about structuralism is talking about form of fiction. Literature Structuralism theory is a phenomenological theory concerning the texts of literature that emphasize whole of relation between a variety of unsure text. Literature structuralism is giving the spaciousness to letters researcher determines what the component that will be get signification priority. (Yoseph Yapi Taum, 1997:39)


3. Analysis
            A short-story of Kisah dikantor Pos created by Muhammad Ali is a short-story that has mandated concerning the text of that short-story. This short-story has advanced plot, when this story is beginning from the character that the man who has thin body is in the post office. From this, the story is begun; honesty is filling or kills for the thin man. Because he indeed he is old and faded and he does not have a character like a man of properties.    
The turning point or the complication is begun when the old women post office worker but she doesn’t want to called by Madam. But, she wants to be called by Miss. Beginning from the thin man who has a insigne card which is different with the picture in the insigne card. The old women is hesitant the identity of that man. According to her, there is a big deception to her if that was, because if it did, she actually will get warning and also an invective because she was wrong giving the money to someone that not rightful authority.
            ketika tiba-tiba muncul kembali wajah lelaki kurus kecil orang pertama yang telah ia(pegawai pos) layaninya tadi, dimuka loket seraya berkata, “Maaf, Nyonya, saya mengganggu lagi. Tidakkah…” “Nona!” sela si pegawai, ketus.
Seketika lelaki itu terdiam termangu memandangi roman muka si pegawai wanita. Ada sedikit rasa mual naik membayangkan diwajahnya. “Maaf, Nona, saya tida tahu,” katanya kemudian.
“ya, ya, ada apa lagi?” desak si pegawai.
“tadi agaknya telah terjadi suatu kekeliruan ketika Nona membayarkan uang poswesel kepada saya, sebab…”
“Mana bisa keliru?” si pegawai menyela dengan cepat.
“seharusnya saya terima tiga ratus rupiah, bukan? Kalau tak salah sekian itulah angka yang tertulis dalam poswesel saya.”…
Quotation above is a climax from a short-story of kisah di kantor pos. why that quotation is a climax of this story? Because of here, blood tense of the official woman begin go up on the top. The next is that woman official worker was wrong giving the money that should deliver.  Actually the thin man gets much money from the old woman. He doesn’t protest because a less of money. His mind tells that it is a mistake and the money is not his mine, because in his money order, the money was written of three thousand rupiah.
When the man brings the money back to the old woman, he gives the money but with different amount. Properly the man brings the money back with the amount is one thousand rupiah. In the other hand, he get calamity on the way and then he uses part of the money. When he backs to the post office he just brings back the money which amount is eighty rupiah to official woman worker, and the woman is anger more and more win out. There are the conflict and climax going on.
 Falling action going on when someone coming with solid body try to break up a fight, the man giving solution with giving amounts that really property of the old woman. He pride of the thin man. He whisper to the thin man that he also same as what was going on to him. He receives more money. According to man with solid body, that the thin man must be enviable, because in this world it’s very rare someone that has an honesty who want to brings back the money to the owner.
Figurative language that was shown in this short-story has figurative language that uses several of kind of figure of speech. Figure of speech that contained in this short-story is usual but has influence enough to understanding by the reader. Teasing allusion that protrusion is very sharp, although the writer use the ordinary language in general.
An honesty that is something which is very pressed in this short-story, in the beginning we can’t realize that is it true the short-story is trusteeship about honesty. This case is really working from the title of the short-story. Really, the title of the short-story is about story the man in the post office. We can’t know fully about this short-story, if we haven’t read it fully. The short-story is very interesting. Honesty it is really a characteristic certain that may be very difficult someone to doing that. Honesty sometimes makes us misfortune. People only think for what thing him honest because in the end he also got beaten. But at the bottom an honesty that make our self satisfied at in order wise that we were hidden to another.
A mistake that sometimes makes someone becoming the other is not having honesty. Scared that raises up in our body and finally hideaway honesty. Finally it is only an untruth which appears in our eyes. This short-story tries to open eyes its readers with a theme which is based on honesty with a character that is basically cannot imagine that man can do something like that. Back to reader selves, did we do it or it is only honesty.

Reference:
Bertens, K. 2006. Filsafat barat dan kontemporer Prancis. Jakarta: Gramedia Pustaka.
Ratna, Nyoman Kutha, 2007. Teori penelitian sastra, pustaka pelajar. Yogjakarta.
Richard Harland, 2006. Superstrukturalisme: pengantar komprehensif.
Peursen, Van, 1988. Strategie van de cultuur (Strategi kebudayaan). Yogyakarta: Kanisius.


[1] Riyan Hidayat, the owner of this blog

Senin, 20 Agustus 2012

Selamat Hari Raya Iedul Fitri 1433 H
Minal Aidin Wal Fa Idzin 
Mohon Maaf Lahir dan Batin

Selasa, 14 Agustus 2012

0 MODEST PROPOSAL KARYA JONATHAN SWIFT DAN NATURAL SELECTION KARYA CHARLES DARWIN. DUA KARYA TERSEBUT SANGAT BERNILAI

           The Origin of Species karya Charles Darwin pada chapter IV:Natural Selection ini menceritakan mengenai eksistensi makhluk hidup dimana akan terjadi perubahan-perubahan di dalamnya baik dalam segi fisik maupun hal lainnya. Tulisan ini menurut saya sebetulnya belum bisa dikatakan sebagai karya ilmiah karena masih menggunkan pengandaian san sepertinya Darwin sengaja membuat tulisan tentang ala mini hanya dengan pendapat pribadinya saja dan bukan hasil dari penelitian dimana seorang ilmuan mencari tahu kebenaran akan sesuatu. Hal ini berbeda dengan Darwin yag selalu menggunakan pendapanya dalam menyampaikan tulisan ini seperti kutipan dari salah satu pendapatnya seperti di bawah ini:

HOW will the struggle for existence, discussed too briefly in the last chapter, act in regard to variation? Can the principle of selection, which we have seen is so potent in the hands of man, apply in nature? I think we shall see that it can act most effectually. 

            Dari kutipan diatas, mungkin sudah cukup mewakili bahwa yang ditulis oleh Darwin masih merupakan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi dimana kepastiannya masih belum teratasi. Hal ini mungkin menjadi bagian yang paling ekstrim diman hancurnya teori Darwin ini. Namun apabila dikaji ulang mungkin beberapa diantara yang ia utarakan terdapat kebenaran mengenai eksistensi makhluk hidup khususnya manusia yang menjadi bagian populasi terbesar di dunia. Dalam hal ini, Darwin menjelaskan mengenai pola perubahan Manusia yang terjadi yang sesuai dengan rentetan waktu yang cukup lama yang dipengaruhi juga dengan iklim dan lingkungan dimana mereka tinggal. Hal ini dijelaskan oleh Darwin pada kutipan berikut:

WE shall best understand the probable course of natural selection by taking the case of a country undergoing some physical change, for instance, of climate. The proportional numbers of its inhabitants would almost immediately undergo a change, and some species might become extinct. We may conclude, from what we have seen of the intimate and complex manner in which the inhabitants of each country are bound together, that any change in the numerical proportions of some of the inhabitants, independently of the change of climate itself, would most seriously affect many of the others. If the country were open on its borders, new forms would certainly immigrate, and this also would seriously disturb the relations of some of the former inhabitants.

          Dari kutipan diatas jelas bahwa Hal yang terjadi itu merupakan suatu kebenaran yang sudah terjadi dan sudah disaksikan kebenaran tersebut memang benar-benar terjadi. Oleh karena itu Darwin tidak lagi menggunakan pendapatnya untuk menyampaikan hal ini namun justru dengan menggunakan kata “Kami” dimana semua orang pun menyaksikan bahwa benar manusia pun berubah dari segi fisik maupun karakter karena adanya proses perkawinan antar wilayah dan inilah proses seleksi alam yang benar-benar terjadi dan disaksikan kebenarannya.
            Natural Selection by Charles Darwin salah satunya membicarakan tentang eksistensi evolusi seleksi alam yang di latar belakangi oleh bidang keilmuan biologi. Dari sana lah berangkat bahwa Charles Darwin merupakan salah satu orang yang keluar tanpa memperhatikan struktur perangkat kebudayaan. Natural Selection, Chapter IV by Charles Darwin. Membahas mahakarya dari robert charles darwin tentunya merupakan suatu hal yang sangat menarik ataupun membingungkan sama sekali. Menarik jika, kita memiliki latarbelakang keilmuan dibidang biologi yang cukup. Sebaliknya, karya ini juga sangat membingungkan bagi siapa saja yang tak memiliki latarbelakang pengetahuan dalam bidang keilmuan biologi yang cukup, itu lah. Tapi, tak ada salahnya untuk beberapa waktu berkonsentrasi pada text ini.
“We may feel sure that any variation in the least degree injurious would be rigidly destroyed. This preservation of favorable variations and the rejection of injurious variations, I call Natural Selection. Variations neither useful nor injurious would not be affected by natural selection, and would be left a fluctuating element.”

       Potongan paragraf diatas menjelaskan secara sepintas, atau singkat mengenai apa itu natural selection. Pada kalimat kedua diatas disebutkan bahwa natural selection itu terdiri dari pemeliharaan variasi – variasi yang menguntungkan dan penolakan variasi – variasi yang merugikan. 
***  
         Modest Proposal karya jonathan swift ini menggambarkan keadaan Irlandia pada saat itu, yang coba diungkapkan oleh Swift. Hal ini menjadi sangat penting karena dalam menganalisa tema dari suatu karya, banyak hal yang harus kita lihat, selain mungkin gambaran karakterisasi, tokoh, setting, tentu saja jalan ceritannya haruslah menjadi salah satu konsentrasi dalam menentukan tema. Tema dalam suatu karya itu dibangun melalui text yang tersebar pada unsur – unsur intrinsik karya tersebut, seperti karakter, karakterisasi, setting, plot, dll. Berikut adalah sekilas mengenai rangkaian plot yang dirangkaikan Jonathan Swift pada the Modest Proposal. Dalam karyanya ini, Swift menggunakan karakter dengan karakterisasi yang berlatar belakangkan ekonomi lemah, nantinya dapat kita lihat bagaimana saran – saran Swift mengenai cara mengurangi kemiskinanpun menjadi kontropersial sekali dalam text ini. Salah satu saran yang diberikan Swift untuk mengurangi kemiskinan di Irlandia salah satunya adalah menjual anak – anak dari golongan miskin untuk dijadikan makanan bagi orang kaya. Selain hal itu, Swift juga mengatakan bahwa dengan penjualan anak – anak ini, bukan hanya populasi di negara Irlandia akan berkurang, akan tetapi orang – orang miskin akan mendapatkan keuntungan yang besar dari penjualan setiap anaknya. Dan memang, yang sebenarnya menjadi masalah yang ingin diangkat Swift, yang sebenarnya terjadi di Irlandia itu adalah kemiskinan dan jumlah populasi yang terus meningkat. Hal ini merupakan sedikit gambaran mengenai kekacauan ekonomi yang terjadi di Irladia pada saat itu. Dari sedikit rangkaian plot tersebut muncul satu tema, yaitu Swift sepertinya ingin mengangkat tema ekonomi dan sosial yang sedang terjadi di negaranya.

0 PANDUAN PENULISAN SKRIPSI FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INGGRIS



        Panduan ini saya dapatkan beberapa minggu lalu, ketika mampir ke fak adab dimana saya mempelajari sastra dan bahasa. sebenarnya sih panduan ini sudah di share di Facebook dan gak ada salahnya dong kalo saya nge-share ini di blog saya. mudah-mudahan bermanfaat untuk kalian, para pencari tanda tangan (PPT2 #hehe).  dan ini juga akan menjadi pengingat saya nanti-nantinya mungkin bisa juga menjadi pembanding dimasa yang akan datang tentunya. untuk yang belom tau, silahkan klik link dibawah ini untuk mendownload panduan penulisan skripsi. selamat menikmati!! :D


KLIK DISINI UNTUK MENDOWNLOAD PANDUAN SKRIPSI

terima kasih untuk pak dosen yang sudah berbagi panduannya.. :D happy blogging..
 

World of Mine Copyright © 2011 - |- Template created by O Pregador - |- Powered by Blogger Templates